Tafsir: Ayat ini menyebutkan tentang orang yang beradab kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu orang-orang yang merendahkan suara-suara mereka di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka adalah orang-orang yang diuji hati mereka oleh Allah subhanahu wa ta'ala agar mereka bertaqwa, dan ini merupakan dalil yangSalah satu cara atau metode memahami Al-Qur'an adalah dengan menggunakan metode tafsir ijmali. Dikutip dari berbagai sumber, berikut penjelasan tentang metode tafsir ijmali. A. Pengertian Tafsir Ijmali. Metode tafsir ijmali ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dipahami dan mudah dibaca. baca juga Musim Dingin, Amalkan Doa Ini Agar Dijauhkan dari Penyakit Doa Khusus untuk Melepas Lelah Bukan Hanya Babi, Ini Makanan Lain yang Diharamkan dalam Islam Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. B. Ciri-Ciri Metode Tafsir Ijmali. Ciri-ciri dari metode ini adalah mufassir menafsirkan al-Qur`an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan muqarin dan penetapan judul maudu’i. Dalam metode ijmali tidak ada ruang untuk mengemukakan pendapat sendiri. Itulah sebabnya, kitab kitab tafsir ijmali tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum, sehingga seakan-akan kita masih membaca al-Qur`an padahal yang dibaca adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tetapi tidak seluas pembahasan pada tafsir tahlili. C. Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali. Dalam kaitan ini metode ijmali dalam penafsiran al-Qur`an memiliki kelebihan. Diantaranya adalah sebagi berikut 1. Praktis dan mudah dipahami praktis tanpa berbelit-belit. Sesuai bagi yang ingin memperoleh pemahaman ayat-ayat al-Qur`an dalam waktu yang relatif singkat. 2. Bebas dari penafsiran isra`iliyyat, dikarenakan ringkasnya penafsiran. 3. Menggunakan bahasa yang singkat dan dekat dengan bahasa al-Qur`an. Karena mufassir langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi. D. Kelemahan Metode Ijmali. Kelemahan metode ini antara lain sebagai berikut 1. Kurang diperhatikan kaitan antara satu ayat dengan ayat-ayat yang lain. 2. Ruangan penafsiran terbatas untuk penjelasan yang memadai. E. Contoh Kitab Tafsir Ijmali. Contoh kitab tafsir ijmali adalah Tafsir al-Qur`an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi, dan at-Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah, dan Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli serta Taj al-Tafasir. Demikian penjelasan tentang tafsir ijmali. Semoga bermanfaat.[]
TafsirTahlili; Kriteria Pemuda Sukses Dalam Perspektif Al-Qur'an. Tafsir Q.S Al-Baqarah Ayat 234-235 (1): Idah Talak dan Idah Wafat. Makna dan Ragam Amanah dalam Al-Qur'an. Ada beberapa ciri khas yang menonjol dari penafsiran Thabathaba'i ini. Yaitu pertama, Thabathaba'i dalam menafsirkan Al-Quran dimulai dengan menunjukkan
Agaknya tidak berlebihan jika dikemukakan bahwa diantara cabang ilmu yang sangat penting dari rumpun-rumpun ilmu Alquran adalah ilmu Tafsir. Hal ini bukan karena semata-mata lebih tua dariu cabang-cabang ilmu-ilmu Alquran lainnya, akan tetapi lebih kepada peranannya yang sangat penting dalam menggali dan memahami ayat-ayat Alquran. Dalam perjalanan waktu yang sangat panjang, sejak turunnya Alquran kepada nabi Muhammad Saw., ilmu Tafsir terus berkembang dan terdapat banyak kitab-kitab tafsir dengan corak yang beraneka ragam. Para ulama tafsir belakangan memilah-milih kitab teresbut berdasarkan metode penafsirannya, baik ijmali, tahlili, maudhu’I dan muqaran.[1] Yang paling populer dari antara corak atau metode penafsiran tersebut adalah metode tahlili dan maudhu’i. Penafsiran dengan metode tahlili yang oleh Baqir dinamai sebagai metode Tajzi’i[2] adalah sebuah metode tafsir dimana mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat demi ayat atau surah demi surah sebagaimana tersebut dalam mushaf. Untuk lebih jelasnya, makalah ini akan membahas beberapa kajian yang terkait dengan tafsir tahlili tersebut, baik defenisi, keistimewaannya dan sebagainya. BAB II PEMBAHASAN Makalah Tafsir Tahlili A. Pengertian Tafsir Tahliliy Kata “tahlili” berasal dari bahasa Arab yakni “hallala-yuhallilu” yang berarti menguraikan atau menganalisa jadi Tafsir Tahlili analitis atau yang juga disebut dengan tafsir tajzi’i merupakan suatu metode yang bermaksud menjelaskan dan menguraikan kandungan ayat-ayat Alqur'an dari seluruh sisinya, sesuai dengan urutan ayat di dalam suatu surat. Dalam tafsir ini ayat ditafsirkan secara komprehensif dan menyeluruh baik dengan corak ma’tsur maupun ra’yi. Unsur-unsur yang dipertimbangkan adalah asbabun nuzul, munasabah ayat dan juga makna harfiyah setiap kata.[3] Seorang mufassir tersebut bermaksud menjelaskan ayat-ayat Al Qur'an secara terperinci dan jelas. Metode tafsir ini dilakukan sesuai dengan susunan ayat demi ayat atau surat demi surat sebagaimana termaktub dalam mushaf Usmaniy. Tujuan utama metode tafsir ini adalah untuk mengungkapkan maksud-maksud dari ayat tersebut dan tunjukannya. Seorang mufassir akan memaparkan lafaz dari segi bahasa Arab, penggunaannya, kesesuaian ayat dengan ayat serta tempat dan juga sebab turunnya ayat tersebut jika memang ada. Mufassir akan menguraikan fasahah, bayan, i’jaz dan maksud syariat dibelakang nas dan sebagainya. dalam menafsirkan ayat demi ayat, seorang mufassir sering mengutip ayat Al Qur'an, hadist Rasulullah SAW, serta perkataan sahabat dan para tabiin.[4] Melihat aspek-aspek yang dibahas dalam tafsir tahlili maka dapat dipahami bahwa penafsiran dengan metode ini sangat luas dan menyeluruh. Jika menginginkan pemahaman yang luas akan suatu ayat, maka tidak ada pilihan lain kecuali menafsirkannya dengan tafsir tahlili. B. Sejarah Perkembangan Tafsir Tahlili Pertumbuhan tafsir Alquran telah dimulai sejak dini, yaitu sejak zaman hidupnya Rasulullah. Beliau adalah manusia yang mempunyai otoritas tertinggi dalam menafsirkan Alquran. Karena salah satu tujuan pengutusan beliau adalah untuk menjelaskan Alquran bagi manusia. Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabatpun mulai melakukan ijtihad, meski ijtihad dalam pengertian yang lebih terbatas telah lahir pada zaman Rasulullah, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan seperti Ali, Abdullah b. Abbas, Ubay b. Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud dan sebagainya. Disamping itu, beberapa tokoh sahabat yang disebutkan di atas juga mempunyai murid-murid dari golongan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka bertempat tinggal. Beberapa tokoh tafsir dari golongan tabi’in adalah Sa’id b. Zubair, Mujahid b. Jabr dan sebagainya. Penggunaan metode tafsir tahlili dalam dunia Islam dimulai sejak ditulisnya tafsir Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari. Karya at-Thabari ini dianggap sebagai tafsir tertua yang menggunakan metode tahlili. Dalam tulisannya, at-Thabari menganalisa ayat-ayat demi ayat dengan menunjuk kepada Hadist Nabi, ucapan sahabat, aspek kebahasaan dan bebeberapa sumber lainnya untuk menjelaskan ayat tersebut. Upaya penafsiran seperti ini kemudian banyak diikuti oleh mufassir lain seperti Ibnu Katsir dan as-Suyuthi.[5] Meskipun metode at-tahlili lama digunakan dalam kajian teks keagamaan dan filsafat, tetapi metode ini baru dibakukan sebagai salah satu metode ilmu pengetahun pada awal abad ke-20, saat kajian kebahasaan telah mengalami perkembangan yang cukup maju.[6] C. Kitab-Kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Tahlili Beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode ini diantaranya adalah 1. Tafsir Jami al Bayan fi Tafsir Al Qur'an al Karim oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at Thabariy 2. Tafsir Al Qur'an al Azhim oleh Ibnu Katsir 3. Tafsir Mafatih al Ghaib oleh Fakhru Raziy. 4. Tafsir al Jami’ li Ahkam Al Qur'an oleh Qurthubiy.[7] D. Langkah-Langkah Dalam Tafsir Tahlili Seperti yang dijelaskan di atas bahwa metode tafsir tahlili adalah tafsir yang berusaha untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat ayat-ayat Alquran sebagaimana tercantum dalam mushaf. Dalam tafsir tahlili, seorang mufassir memulai dari ayat ke ayat, surah ke surah. Segala aspek yang dinilai penting oleh mufassir akan ditafsirkan, mulai dari kosa-kata, sebab turunnya, munasabahnya dan lain sebagainya yang masih berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.[8] Ringkasnya metode penafsiran tahlili dapat diringkas sebagai berikut 1. Urutan-urutan ayat dan surat berdasarkan mushaf. 2. Menafsirkan kosa-kata pada ayat Alquran. 3. Menjelaskan munasabah korelasi antar ayat. 4. Menjelaskan latar historis turunnya ayat. 5. Menjelaskan dalil-dalil yang terkandung dalam ayat Setelah semua langkah tersebut sudah ditempuh, mufassir tahlili lalu menjelaskan seluruh aspek dari semua penafsiran dan lalu memberikan penejelasan final dari semua penafsiran tersebut. E. Keistimewaan dan kelemahannya Dalam menganalisa tafsri tahlili, muncul beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan kegunaan metode penafasiran ini, diantaranya adalah apa keistimewaan dan kelemahan metode tafsir ini, dan bagaimana pula contohnya. Dalam bagian ini akan dibahas insya Allah mengenai keistimewaan dan juga kelemahan tafsir ini. Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia, selalu saja memliki kelemahan dan keistimewaan. Demikian halnya juga dengan metode tahlili ini. Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal yang negatif, akan tetapi rujukan dalam ciri-ciri metode ini. Dalam tafsir tahlili ditemukan beberapa keistimewaan diantaranya adalah tafsir ini biasanya selalu memaparkan beberapa hadist ataupun perkataan sahabat dan para tabiin, yang berkenaan dengan pokok pembahasan pada ayat. Juga didalamnya terdapat beberapa analisa mufassir mengenai hal-hal umum yang terjadi sesuai dengan ayat. Dengan demikian, informasi wawasan yang diberikan dalam tafsir ini sangat banyak dan dalam. Keistimewaan lainnya adalah adanya potensi besar untuk memperkaya arti kata-kata dengan usaha penafsiran terhadap kosa-kata ayat. Potensi ini muncul dari luasnya sumber tafsir metode tahlili tersebut. Penafsiran kata dengan metode tahlili akan erat kaitannya dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak tertutup kemungkinan bahwa kosa-kata ayat tersebut sedikit banyakanya bisa dijelaskan dengan kembali kepada arti kata tersebut seperti pemakaian aslinya. Pembuktian seperti ini akan banyak berkaitan dengan syair-syair kuno. Keistimewaan lainnya adalah luasnya bahasan penafsiran. Pada dasarnya, selain kedetilan, keluasan bahasan juga menjadi salah satu ciri khusus yang membedakan tafsir tahlili dengan tafsir ijmali. Seperti disebutkan di atas, bahwa salah satu keistimewaan tafsir tahlili dibandingkan dengan tafsir ijmali adalah kedetilannya dalam menguraikan sebuah ayat. Sebuah ayat yang tidak ditafsirkan oleh metode ijmali kadang kala membutuhkan ruang yang banyak bila ditafsirkan dengan metode tahlili. Disamping keistimewaan, juga ada kelemahan. Namun sekali lagi kelemahan disini bukanlah merupakan kelemahan yang mengharuskan kita tidak menggunakan atau mengabaikan tafsir ini. Akan tetapi hendaknya dalam menyikapi kelemahan ini, kita haru dapat memilah milih beberapa informasi dan wawasan yang dipaparkan dalam metode penafsiran ini. Salah satu kelemahan yang sering disebutkan adalah berkenaan dengan Israiliyat yang mungkin terkadang masuk dalam informasi yang diberikan mufassir. Juga sama halnya dengan berbagai hadist lemah yang tidak selayaknya digunakan pada tempat dan kondisi sesuai. Akan tetapi dengan analisa kritis yang mendalam, kelemahan ini sangat mungkin untuk dihindarkan. Selayaknyalah memang seorang mufassir yang berkompeten untuk memberikan perhatian serius terhadap sumber informasi yang ia gunakan dalam menafsirkan sebuah ayat. Israiliyyat tidaklah begitu sulit untuk dikenali, konsepnya hanyalah apakah informasi tersebut mempunyai sumber yang jelas atau tidak, bila sumbernya jelas dan kuat maka informasi tersebut bisa dipakai dan sebaliknya. Demikian pula dengan hadist-hadist dha’if ataupun pendapat-pedapat para sahabat maupun tabi’i. Hukum dasar hadist da’if adalah tidak boleh diamalkan, hal ini tentu saja berlaku dalam pemakaian sebagai sumber tafsir. Hadist dha’if tersebut hanya bisa dipakai sebagai penguat apabila ada hadist yang lebih kuat menjelaskan senada dengan hadist da’if tersebut. Kelemahan lain tafsir tahlili adalah kesannya yang bertele-tele dan sistematis. Tapi apakah demikian adanya? Sepintas memang akan terlihat demikian karena tafsir tahlili membutuhkan wadah yang lebih banyak dan luas dibandingkan dengan tafsir ijmali. Pemakaian kata yang banyak tidak bisa dikatakan bertele-tele bila memang kajian tersebut membutuhkan wadah bahasa yang panjang untuk menguraikannya. Bertele-telenya sebuah penafsiran adalah dengan banyak kalimat-kalimat yang tidak berfungsi dengan baik dalam menguraikan ayat, seperti perulangan penjelasan, atau kiasan-kiasan yang tidak perlu. Kedetilan dan keluasan bahasan tafsir tahlili dalam menguraikan sebuah ayat tentu saja membutuhkan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih lama bagi seorang mufassir. Bagi beberapa golongan hal ini juga dianggap sebagai kelemahan dibandingkan dengan tafsir ijmali yang praktis dan sederhana.[9] Keistimewaan metode tafsir tahlili dapat dirangkum sebagai berikut 1. Sumber yang bervariasi. 2. Analisa mufassir. 3. Kekayaan arti kosa-kata dalam Alquran. 4. Luas. 5. Detil Sedangkan beberapa kelemahannya adalah Peluang untuk masuknya israiliyyat lebih besar. Peluang untuk masuknya informasi yang tidak penting lebih besar. Bertele-tele. Membutuhkan wadah, kata, waktu yang relatif lebih besar. BAB III PENUTUP Makalah Tafsir Tahlili Tafsir Tahlili analitis merupakan suatu metode yang bermaksud menjelaskan dan menguraikan kandungan ayat-ayat Alquran dari seluruh sisinya, sesuai dengan urutan ayat di dalam suatu surat. Dalam tafsir ini ayat ditafsirkan secara komprehensif dan menyeluruh baik dengan corak ma’tsur maupun ra’yi. Unsur-unsur yang dipertimbangkan adalah asbabun nuzul, munasabah ayat dan juga makna harfiyah setiap kata. Penggunaan metode tafsir tahlili dalam dunia Islam dimulai sejak ditulisnya tafsir Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari. Karya at-Thabari ini dianggap sebagai tafsir tertua yang menggunakan metode tahlili. Layaknya metode tafsir lainnya, metode tafsir tahlili mempunyai keistimewaan dan kekurangan. DAFTAR PUSTAKA Abd al Hayy al Farmawiy, Al Bidayah Fi al Tafsir al Maudhuiy; Dirasah Manhajiyah al Mauwdhu’iy, Metode Tafsir Maudhui, Terj Suryan A. Jamrah Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996, Azra,Azyumardi Sejarah Ulumul Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999. Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al Qur'an 2, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001 Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta Raja Grapindo Persada, 2001. Shihab, Quraish, Membumikan Alquran. Bandung Mizan, 2002. Subhi Salih, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, trjmh Tim Pustaka Firdaus, cet kedelapan, Jakarta, Pustaka Firdaus, Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam 2, cet. IV. Jakarta Icthiar Baru Van Hoeve, 1999. Berdasarkanpenelusuran pemakalah, tafsir al-Azhar karya Prof. Dr.Hamka menggunakan metode Tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Disamping sistematikanya yang runtut berdasarkan urutan mushaf sebagaimana yang dijelaskan diatas, juga bisa dilihat dalam contoh tafsiran beliau: Penafsiran beliau tentang surat al-Tariq ayat 11 sebagaiMETODE TAFSIR TAHLILI ABDULLAH KHUSAIRI Pendahuluan Salah satu dampak positif dari pernyataan Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama yang diduga menistakan agama oleh sebagian golongan ummat Islam adalah tafsir-tafsir al-Quran dibicarakan di ruang publik secara terbuka. Khususnya Surat al-Maidah ayat 51.[1] Terlepas kepentingan politik praktis kekuasaan yang telah mengitari persoalan penafsiran surat al-Maidah ayat 51 tersebut, yang jelas di panggung publik, media massa dan media sosial, tafsir al-Quran khusus ayat-ayat yang berkenaan dengan kepemimpinan telah disuarakan secara lantang. Persoalan serupa ini memang sering muncul dalam kontestasi politik menjelang dunia suksesi di daerah bahkan dalam Pemilihan Presiden.[2] Walau pun akhirnya, memang pendalaman kajian tafsir harus terus dipaparkan kepada publik agar tidak terjebak dalam logika sempit dan menjauhkan simpati dan menegasi keberagaman dan al-islam al-rahmat al-amin.[3] Kita tidak akan mengupas pro kontra penafsiran Surat al-Maidah ayat 51 tersebut. Peristiwa ini cukuplah menjadi titik balik bersama untuk mendalami lebih jauh metode-metode tafsir al-Quran. Perbedaan penafsiran adalah keniscayaan yang harus dihormati sejauh tidak memiliki efek negatif dan berlawanan maksud kehadiran al-Quran sebagai petunjuk bagi ummat manusia al-hudan al-nash.[4] Melanjutkan materi kuliah Quranic Exgesis of Methode, setelah kita mengenal beberapa pendekatan dalam tafsir bi al ma'tsur dan bi al-ra'yi, corak-corak penafsiran, faktor-faktor penyebab penyimpangan dalam tafsir, kaidah-kaidah dalam penafsiran, dsb. maka pada makalah ini akan khusus mengupas Metode Tafsir Tahlili. Metode Tafsir Tahlili merupakan satu dari empat metode tafsir yang dibahas dalam memelajari Ilmu Tafsir. Empat metode tersebut adalah, Metode Tafsir Ijmali, Metode Tafsir Tahlili, Metode Tafsir Maudhu'i dan Metode Tafsir Muqarin.[5] Makalah ini akan memaparkan pengertian, ciri-ciri dan contoh-contoh kitab-kitab Tafsir Tahlili, contoh-contoh penafsiran, kelebihan dan kelemahan, serta pendapat penulis. Pengertian Secara bahasa al lughah, kata Tahliliy berasal dari akar kata bahasa arab, hallala-yuhallilu-tahlilan. Artinya, analisa atau menguraikan. Bahasa Inggrisnya, to analize, detailing.[6] Demikian arti dari segi bahasa al lughah. Secara istilah, menurut M. Quraish Shihab, Metode Tafsir Tahlili merupakan suatu bentuk tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai sisi dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran sebagaimana tercantum dalam mushaf. Menurut Muhammad Baqir al-Shadr menamakan Metode Tafsir Tahlili sebagai Metode Tajzi’iy, yaitu metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai segi dengan memerhatikan susunan surat dan ayat al-Quran.[7] Sedangkan Abdul Hayy al-Farmawi menyatakan, Tafsir Tahlili dengan suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya.[8] Pada kerjanya Metode Tafsir Tahlili menganalisis dari sisi bahasa, al-lughah, sebab-sebab turun ayat al-asbab al-anuzul, hubungan antar ayat, nasikh mansukh, perkembangan kebudayaan generasi nabi dan sahabat maupun tabi’in. Di samping itu, khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami kandungan al-Quran. Artinya Metode Tafsir Tahlili dapat disebutkan sebuah cara mengangkat dan menarik isi kandungan teks ayat-ayat al-Quran dengan cara menganalisis dari berbagai sisi. Kandungan inilah dijadikan sebagai acuan untuk memahami perintah, mengerjakan perintah dari Allah Swt. Ciri-Ciri dan Contoh Kitab Tafsir Tahlili Sungguhpun para mufassir memiliki kecenderungan corak penafsiran sesuai menurut kadar kedalaman keilmuan yang dimilikinya namun mereka tetap menggunakan kaidah-kaidah umum Ilmu Tafsir al-Quran. Yaitu, Kaidah Quraniyah, Kaidah Sunnah, Kaidah Bahasa, Kaidah Ushul al-Fiqh dan Kaidah Ilmu Pengetahuan.[9] Ciri-ciri metode Tafsir Tahlili di antaranya adalah, ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutan dalam mushhaf Utsmany, atau dimulai dari Surat al-Fatihah, diakhir dengan surat an-Nash. Mufassir menguraikan kosa kata, lafaz dan menjelaskan arti yang ditetapkannya. Sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang di-istinbath-kan dari ayat, yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid, perintah-perintah, larangan, janji, ancaman, hakikat, majaz, kinayah, dan al isti’arah. Di samping itu juga mengemukakan kaitan antara Ayat-Ayat dan relevansinya Surat sebelum dan sesudahnya. Dilengkapi lagi dengan sebab-sebab turun ayat al-asbab al-nuzul, hadits-hadits Rasulullahh SAW dan pendapat para sahabat dan tabi’in-tabi’in yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan. Mufassir yang menggunakan metode tahlili umumnya menguasai lebih dari satu bidang ilmu. Seperti diketahui ulama pada masa dahulu tidak hanya menguasai satu bidang ilmu saja. Mereka bisa disebut multidisipliner. Hasil dari Metode Tafsir Tahlili ini melahirkan beragam kitab tafsir. Ada yang ditulis dengan panjang lebar al-ithnab, ada yang secara singkat al-ijaz dan ada pula di antara keduanya, pertengahan al-musawah. Kitab Tafsir al-Quran yang ditulis Mufassir al-Alusy, al-Fakhr al-Razy, al-Qurthuby dan Ibn Jarir al-Thabary termasuk katagori al-ithnab. Kitab tafsir karya Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din al-Mahally dan al-Sayyid Muhammad Farid Wajdi masuk kategori singkat al-Ijaz. Sedangkan karya Imam al-Baydlawy, Syeikh Muhammad Abduh, al-Naysabury, masuk kategori pertengahan al-musawah.[10] Sekalipun mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili akan tetapi corak Tahlili masing-masing berbeda. Sesuai dengan kecenderungan mufasir tersebut. Lebih lengkap, kitab tafsir dengan Metode Tafsir Tahlili adalah 1. Tafsir al-Qur’an al-azhim karya Ibn Katsir. 2. Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawy al-Bantany. 3. Tafsir al-Fakh al-Razy yang terdiri dari tafsir al- Kabir Mafatih al-Ghaib yang terdiri dari 30 jilid dan Tafsir al-Saghir Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil. 4. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir Al-Thabary 5. Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan Al-Tafsir al-Manqul, karangan Imam Al-Baghawy 6. Madarik al –Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Mahmud Al-Nasafy 7. Anwar al-Tanzil wa Asrarnal-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Al-Baydlawy 8. Tafsir Al-Qur’an al-Adhim, karangan Imam Al-Tustary 9. Haqaiq al-Tafsir, karangan al-Sulamy w. 421 H 10. Ahkam Al-Qur’an, karangan Al-Jasshash w. 370 H 11. Al-Jami’ li Al-Qurthuby w. 671 H 12. At-Tafsir al-Ilm li al-Kauniyat al-Qur’an al-Karim, karya Hanafi Ahmad 13. Al-Islam Yatahadda, karangan Al-Allamah Wahid al-Din Khan 14. Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha w. 1345 H 15. Tafsir a-Jalalain, karya Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din al-Mahally 16. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud Salthut 17. Tafsir Imam al-Zamakhsari Al-Ksyasaf an Haqaiq al-Tanzil wa uyun al-Aqawil fi Wujud al-Ta’wil, karya Tafsir Imam al-Zamakhsari [11] Corak Metode Tafsir Tahlili Pada pertemuan terdahulu kita telah mengupas beragam corak penafsiran al-Quran. Pemahaman tentang corak ini, tiada lain adalah ragam dari metode yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir oleh kalangan ulama.[12] Berbeda metode penafsiran, kedalaman dan penguasaan ilmu, tentunya menghasilkan bentuk tafsir yang berbeda. Namun perbedaan tersebut tidak kontra dari makna awal ayat. Metode Tafsir Tahlili dikelompokkan menjadi beberapa macam. Yaitu, tafsir bil Ma’tsuri, tafsir bir Ra’yi, tafsir as-Shufi, tafsir al-Fikhi, tafsir al-Falsafi, tafsir al-Ilmi, tafsir al-Adab al-ijtimi’i.[13] Lebih jelasnya, sbb 1. Bentuk Tafsir Ma’tsuri Riwayat Tafsir bil Ma’tsuri yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lain, dengan sunnah Nabi SAW, dengan pendapat sahabat Nabi SAW dan dengan perkataan tabi’in. Menurut Subhi as-Shalih, bentuk tafsir seperti ini sangat rentan terhadap masuknya pendapat-pendapat di luar Islam, seperti kaum zindiq Yahudi, Parsi dan masuknya hadits-hadits yang tidak shahih. Namun demikian pada tafsir Ibnu Jarir al-Thabary H, Jami al-Bayani fi Tafsir al-Quran dan tafsir Ibn Katsir H, tafsir al-Quran, kecil kemungkinan terdapat penyimpangan maksud. Mengingat para mufassir bekerja dengan itikad ibadah dan kehati-hatian yang tinggi. 2. Bentuk Tafsir bir ar-Ra’yi Nalar Tafsir bir Ra’yi merupakan cara penafsiran Al-Qur’an dengan dan penalaran dari mufasir. Mufasir dalam punya kebebasan menafsirkan al-Qur’an. Hal tersebut tentu dibatasi oleh kaidah-kaidah penafsiran al-Qur’an, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam menafsirkan Al-Qur’an. Model Tafsir bir ar-ra’yi dapat dilihat dalam kitab tafsir, sbb § ا نوا ر ا لتنزيل وا سرا ر ا لتاء ويل- al-Baidhawy 691 H. § مدا رك التنزيل ÙˆØÙ‚ا تق ا لتاء ويل- al-Nasafy w. 701 H. § لبا ب ا لتاءويل ÙÙ‰ ا لتنزيل- al-Khazin w. 741 H. § ا رشا د ا لعقل ا لسليم الى مزا يا ا لكتب ا لكريم-Abu al-Su’ud w. 982 §Ù…ÙØ§ ØªÙŠØ Ø§ لغيب - al-Fakhr al-Razi w. 606 H.[14] 3. Bentuk Tafsir as-Shufi Tafsir as-Shufi mulai berkembang ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar di seluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya. Tafsir ini lebih menekankan pada aspek esoterik atau isyarat-isyarat yang tersirat dari ayat oleh para sufi. Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti zhahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti zhahir yang dimaksudkan. Di antara kitab-kitab tafsir al-Quran bercorak sufi adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim oleh al-Tustari w. 383 H; Haqaiq al-Tafsir, oleh al-Sulami H, Araisy al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karya al-Syairazi w. 606 H, Latha’if al-Isyarah, karya al-Qusyairi H.[15] 4. Bentuk Tafsir al-Fikhi Hukum Tafsir Fikih adalah tafsir yang menekankan pada tinjauan hukum dari ayat yang ditafsirkan. Tafsir ini banyak di temukan dalam kitab-kitab fikih yang ditulis imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda. Tafsir yang ditulis tersebut menguatkan dalil atas kebenaran mazhab.[16] Para mufasir menggunakan kaidah ushul dalam menafsirkan ayat. Kaidah-kaidah tersebut adalah a. Kaidah yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy Al-amr adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari al-amr. Apabila Allah swt memerintahkan sesuatu berarti melarang untuk melakukan sebaliknya. b. Kaidah-kaidah ushuli lainnya antara lain 1. Am dan Khash. Am adalah lafaz yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Sedangkan lafaz khash merupakan kebalikan dari lafaz Am, yaitu yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan. 2. Mujmal dan Mubayyan. Mujmal adalah lafaz yang mengandung dua makna atau lebih, yang kesemuanya masih sulit untuk ditentukan secara pasti mana yang lebih tepat untuknya, karena makna yang dikandung oleh lafaz tersebut sama-sama kuatnya. Sedangkan mubayyan merupakan penjelas terhadap lafaz yang masih mujmal pengertiannya. 3. Manthuq dan Mafhum. Manthuq adalah sesuatu makna yang ditunjukkan oleh ucapan lafaz itu sendiri. Dengan kata lain, pengucapan lafaz itu sendirilah yang memberi jalan bagi kita untuk dapat mengerti maksud kandungannya sehingga tidak ada kemungkinan makna lain kecuali apa yang dapat dimengerti dari teks itu sendiri. Sedangkan mafhum adalah sesuatu makna dari suatu lafaz yang ditunjukkan secara tersirat. 4. Muthlaq dan Muqayyad. Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan kepada satu-satuan tertentu tetapi tanpa adanya pembatasan. Sedangkan yang dimaksud lafazh muqayyad adalah kebalikan dari lafazh muthlaq. Manna’ al-Qaththan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an, mendefinisikannya sebagai suatu lafazh yang menunjukkan atas suatu hakikat dengan adanya batasan. 5. Hakikat dan Majas. Hakikat merupakan suatu lafaz yang tetap pada makna aslinya, dan tidak ada taqdim makna yang didahulukan dan ta’khir makna yang diakhirkan di dalamnya. Sedangkan majaz adalah lafaz yang digunakan untuk suatu arti, yang semua lafaz itu bukan diciptakan untuknya.[17] Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak tafsir al-Fikhi ini adalah § اØÙƒØ§ Ù… ا لقر ا Ù† , oleh al-Jash-Shash w. 370 H § ا ØÙƒØ§ Ù… ا لقران , karya Ibn al-Arabi w. 543 H § الجا مع لا ØÙƒØ§ Ù… ا لقرا Ù† , oleh al-Qurthuby w. 671 [18] 5. Bentuk Tafsir al - Falsafi Filsafat Tafsir Falsafi merupakan ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filsafat. Pendekat filsafat yang digunakan adalah pendekatan yang berusaha melakukan sintesis dan siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu juga menggunakan pendekatan yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ini hadir di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya dan gerakan penerjemahan buku-buku falsafah dari Yunani dimasa Dinasti Bani Abbasiyah. Tokoh-tokoh Islam yang membaca buku-buku filsafat dari Yunani terbagi kepada dua golongan. Pertama, golongan yang menolak falsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara falsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang falsafat dan berupaya menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam Ghazali[19] dan al-Fakr al-Razi. Imam Ghazali bahkan secara khusus menulis tentang metode falsafat yang menurutnya rancu.[20] Kedua, golongan yang mengagumi dan menerima falsafat, meskipun didalamnya terdapat ide-ide yang bertentangan dengan nash-nash syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan. Di antara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasar corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak falsafat adalah kitab tafsir Mafatih al-Ghaib, oleh al-Fakhr al-Razi w. 606 H. Al-Imam al-Ghazali, melalui kitabnya Ihya ulum ad-Din dan Jawahir al-Qur’an, Al-Imam al-Suyuthy, melalui kitabnya al-Itqan. Sayangnya tak ada kitab tafsir al-Qur’an secara lengkap dan utuh versi para filosof. Namun demikian ada yang tematik dan mengupas mendalam tentang ketuhanan, kosmologi dan hal-hal yang menjadi kajian utama filsafat. Hikmah bersentuhannya filsafat Yunani dengan Islam, lahirnya filosof-filosof dari kalangan Islam. 6. Bentuk Tafsir al-Ilmi Ilmu Tafsir ini mulai muncul dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, sehingga tafsir ini dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan ilmiah atau dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan. Dalam tafsir ini mufasir berusaha mengkaji al-Qur’an dengan dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta ini. Tafsir ini terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial, terpisah dengan ayat-ayat lain yang berbicara pada masalah yang sama. Tafsir ini lebih dekat kepada model metode Tafsir Ijmali. Meskipun terdapat berbagai kendala dan rintangan serta tantangan, nampaknya masih ada tokoh-tokoh ulama kontemporer yang berminat melakukan kajian al-Tafsir al-Ilmi untuk menyingkapi makna ayat-ayat kauniyah. Tokoh ulama yang dimaksud antara lain a. Al-Ustazd Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawi. Didalam kitabnya, Sunanullah al-Kauniyah, dia telah mengemukakan pembahasan panjang lebar mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang menunjuk kepada masalah meteorologi. b. Al-Ustazd Dr. Abd al-Aziz Ismail. Didalam karyanya, al-Islam wa al-Thib al-Hadist, tokoh ini menafsirkan sebagian ayat-ayat kawniyah secara ilmiah seraya mengungkapkan aspek-aspek kemukjizatannya. c. Al-Syekh Thanthawi Jauhari. Melalui kitab tafsirnya yang tebal, beliau telah mengemukakan pembahasan mengenai berbagai macam ilmu yang disyaratkan oleh ayat-ayat kawniyah. Andaikan tokoh ini tidak sempat memberikan penjelasan yang luas dan panjang lebar, niscaya masih banyak hakikat dan nilai ilmu yang ada di dalam ayat tersebut tetep tersembunyi. d. Ahmad Mukhtar al-Ghazi. Didalam kitab yang diberi judul Riyadh al-Mukhiar, tokoh ini banyak membahas ayat-ayat kawniyah, pembahasannya tersebut terbatas pada sudut pandang salah satu aspek dari sekian banyak aspek ilmu modern. e. Al-Ustadz Hanafi Ahmad, seperti yang terdapat dalam karyanya, al-Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kawniyah fi al-Qur’an al-Karim. [21] 7. Bentuk Adab al-Ijtima’i Tafsir adalah suatu metode tafsir yang coraknya menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan, serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah kemasyarakatan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dengan mengemukakannya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.[22] Tafsir ini mengandalkan kekuatan bahasa dan sastra budaya mufasir, dikaitkan dengan persoalan kekinian pada masanya. Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dapat digolongkan mengikuti corak ini, yang banyak memberi sumbangan persoalan kemasyarakatan kekinian pada masa itu. Contoh-Contoh Tafsir Tahlili 1. Contoh Metode Tafsir Ma'tsuri Salah satu contoh Metode Tafsir Tahlili yang menggunakan bentuk penafsiran ayat dengan ayat, yaitu kata-kata al-muttaqin orang-orang bertakwa dalam ayat 2, Surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya ayat-ayat 3-5 yang menyatakan الَّذِينَ ÙŠُؤْÙ…ِÙ†ُونَ بِالْغَÙŠْبِ ÙˆَÙŠُÙ‚ِيمُونَ الصَّÙ„َاةَ ÙˆَÙ…ِÙ…َّا رَزَÙ‚ْÙ†َاهُÙ…ْ ÙŠُÙ†ْÙِÙ‚ُونَ Ùˆَالَّذِينَ ÙŠُؤْÙ…ِÙ†ُونَ بِÙ…َا Ø£ُÙ†ْزِÙ„َ Ø¥ِÙ„َÙŠْÙƒَ ÙˆَÙ…َا Ø£ُÙ†ْزِÙ„َ Ù…ِÙ†ْ Ù‚َبْÙ„ِÙƒَ ÙˆَبِالْØ¢ØِرَØ©ِ Ù‡ُÙ…ْ ÙŠُوقِÙ†ُونَ Ø£ُولَٰئِÙƒَ عَÙ„َÙ‰ٰ Ù‡ُدًÙ‰ Ù…ِÙ†ْ رَبِّÙ‡ِÙ…ْ ۖ ÙˆَØ£ُولَٰئِÙƒَ Ù‡ُÙ…ُ الْÙ…ُÙْÙ„ِØُونَ Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung. 2. Contoh Metode Tafsir bir ar-Ra'yi Salah satu contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh imam al-Mahalli dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”, mengenai surat al-Isra’ ayat 85 ÙˆَÙŠَسْØ£َÙ„ُونَÙƒَ عَÙ†ِ الرُّÙˆØِ ۖ Ù‚ُÙ„ِ الرُّÙˆØُ Ù…ِÙ†ْ Ø£َÙ…ْرِ رَبِّÙŠ ÙˆَÙ…َا Ø£ُوتِيتُÙ…ْ Ù…ِÙ†َ الْعِÙ„ْÙ…ِ Ø¥ِÙ„َّا Ù‚َÙ„ِيلًا Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. Imam al-Mahalli menafsirkan kata ”ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus jism al-lathif, yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik. Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at. 3. Contoh Metode Tafsir as-Shufi Contoh yang dalam bentuk shufi, yaitu dari al-Alusy berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah al-Baqarah 45, sebagai berikut Ùˆَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ ÙˆَالصَّÙ„َاةِ ۚ ÙˆَØ¥ِÙ†َّÙ‡َا Ù„َÙƒَبِيرَØ©ٌ Ø¥ِÙ„َّا عَÙ„َÙ‰ الْØَاشِعِينَ Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, keculi bagi orang-orang yang khusyu’. 2 45 Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan hati untuk menangkap tajally penampakan diri Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka fana’ dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah baqa’, sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa. Contoh lain, dapat dikemukakan Al-alusi ketika menolak pendapat Mu’tazilah dan membela Asy’ariyah, dalam menafsirkan surat al Kahfi ayat 29. ÙˆَÙ‚ُÙ„ِ الْØَÙ‚ُّ Ù…ِÙ†ْ رَبِّÙƒُÙ…ْ ۖ ÙَÙ…َÙ†ْ Ø´َاءَ ÙَÙ„ْÙŠُؤْÙ…ِÙ†ْ ÙˆَÙ…َÙ†ْ Ø´َاءَ ÙَÙ„ْÙŠَÙƒْÙُرْ ۚ Ø¥ِÙ†َّا Ø£َعْتَدْÙ†َا Ù„ِلظَّالِÙ…ِينَ Ù†َارًا Ø£َØَاØَ بِÙ‡ِÙ…ْ سُرَادِÙ‚ُÙ‡َا ۚ ÙˆَØ¥ِÙ†ْ ÙŠَسْتَغِÙŠØُوا ÙŠُغَاØُوا بِÙ…َاءٍ ÙƒَالْÙ…ُÙ‡ْÙ„ِ ÙŠَØ´ْÙˆِÙŠ الْÙˆُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ Ùˆَسَاءَتْ Ù…ُرْتَÙَÙ‚ًا Dan katakanlah "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. QS. 1829 Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Kedua, Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Insan ayat 30. ÙˆَÙ…َا تَØ´َاءُونَ Ø¥ِÙ„َّا Ø£َÙ†ْ ÙŠَØ´َاءَ اللَّÙ‡ُ ۚ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ùƒَانَ عَÙ„ِيمًا ØَÙƒِيمًا Dan kamu tidak mampu menempuh jalan itu, kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.QS. 7630 Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Demikian menurut al-Alusi.[23] 4. Contoh Metode Tafsir al-Fikhi Tafsir al-fikhi menitikberatkan perspektif hukum yang akan diambil dari al-Quran. Namun demikian tetap dengan kajian komperehensif. Hal ini seperti yang ditulis Al-Qurtubi. Metodologi tafsirnya adalah; menyebutkan asbabun nuzul sebab-sebab turunnya ayat, mengemukakan ragam Qira’at dan i’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib asing, melacak dan menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari. Ibnu Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasiy dan Abu bakar Al-Jasshash. Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah, al-Baqarah ayat 187. Ø£ُØِÙ„َّ Ù„َÙƒُÙ…ْ Ù„َÙŠْÙ„َØ©َ الصِّÙŠَامِ الرَّÙَØُ Ø¥ِÙ„َÙ‰ٰ Ù†ِسَائِÙƒُÙ…ْ ۚ Ù‡ُÙ†َّ Ù„ِبَاسٌ Ù„َÙƒُÙ…ْ ÙˆَØ£َÙ†ْتُÙ…ْ Ù„ِبَاسٌ Ù„َÙ‡ُÙ†َّ ۗ عَÙ„ِÙ…َ اللَّÙ‡ُ Ø£َÙ†َّÙƒُÙ…ْ ÙƒُÙ†ْتُÙ…ْ تَØْتَانُونَ Ø£َÙ†ْÙُسَÙƒُÙ…ْ Ùَتَابَ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَعَÙَا عَÙ†ْÙƒُÙ…ْ ۖ Ùَالْآنَ بَاشِرُوهُÙ†َّ Ùˆَابْتَغُوا Ù…َا Ùƒَتَبَ اللَّÙ‡ُ Ù„َÙƒُÙ…ْ ۚ ÙˆَÙƒُÙ„ُوا Ùˆَاشْرَبُوا ØَتَّÙ‰ٰ ÙŠَتَبَÙŠَّÙ†َ Ù„َÙƒُÙ…ُ الْØَÙŠْØُ الْØ£َبْÙŠَضُ Ù…ِÙ†َ الْØَÙŠْØِ الْØ£َسْÙˆَدِ Ù…ِÙ†َ الْÙَجْرِ ۖ ØُÙ…َّ Ø£َتِÙ…ُّوا الصِّÙŠَامَ Ø¥ِÙ„َÙ‰ اللَّÙŠْÙ„ِ ۚ ÙˆَÙ„َا تُبَاشِرُوهُÙ†َّ ÙˆَØ£َÙ†ْتُÙ…ْ عَاكِÙُونَ ÙِÙŠ الْÙ…َسَاجِدِ ۗ تِÙ„ْÙƒَ Øُدُودُ اللَّÙ‡ِ ÙَÙ„َا تَÙ‚ْرَبُوهَا ۗ ÙƒَذَٰÙ„ِÙƒَ ÙŠُبَÙŠِّÙ†ُ اللَّÙ‡ُ آيَاتِÙ‡ِ Ù„ِلنَّاسِ Ù„َعَÙ„َّÙ‡ُÙ…ْ ÙŠَتَّÙ‚ُونَ Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah meng-ampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minum-lah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Ada banyak hal yang dibahas dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari dibulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat Imam Malik, yang mengatakan batal dan wajib mengqadha; Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadha’nya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, katanya, Rasulullah bersabda, “jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadha’nya.” Dari kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang dikemukakannya itu Al-Qurtubi tidak lagi sejalan dengan madzhabnya sendiri, ia berlaku adil terhadap madzhab lain. Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum sufi ynag ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan didorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang oleh ibn Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Dan jika perlu mengkritik, maka kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat. 5. Contoh Metode Tafsir al-Falsafi Beberapa pendapat para filosof muslim dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dilihat dalam karya Al-Farabi, Ikhwanus Shafa dan Ibnu Sina. Al-Farabi menulis Fushus al-Hikam yang memuat beberapa penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan filosofis. Salah satunya adalah penafsirannya terhadap Surat al-Hadid ayat 3. Ù‡ُÙˆَ الْØ£َÙˆَّÙ„ُ ÙˆَالْØ¢Øِرُ Ùˆَالظَّاهِرُ ÙˆَالْبَاØِÙ†ُ ۖ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ بِÙƒُÙ„ِّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ عَÙ„ِيمٌ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Penafsiran Al-Farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni penafsiran Plato tentang kekekalan alam. Oleh karena itu Al-Farabi menafsirkan kepemulaan Allah dari segi bahwa segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah berasal dari-Nya. Allah adalah yang pertama dari segi ada-Nya. Ia yang pertama dari setiap waktu yang keberadaanya bergantung pada-Nya. Telah ada waktu ketika tidak ada sesuatu selain dari-Nya.[24] Berkenaan dengan lanjutan ayat ini yaitu pada kalimat “Ùˆَٱلظَّٰاهِرُ ÙˆَٱلْبَاØِÙ†ُ” artinya “Dia Yang Maha Dhahir dan Maha Bathin”, al-Farabi menafsirkan dengan menyatakan bahwa Tidak ada wujud yang lebih sempurna selain dari wujudNya, tidak ada yang tersembunyi kekurangan wujudNya dan Dia ada pada dzat yang Dhahir, dan tidak pantas muncul pada yang batin. DenganNya nampak segala sesuatu yang dhahir seperti matahari, dan nampak segala sesuatu yang tersembunyi dari persembunyiannya. Contoh tafsir ibn Rusyd Jika alam ini baru dan yang mengadakan adalah Allah maka pertanyaan yang muncul, bagaimana membuktikan bahwa Allah itu esa. Dalam hal ini rupanya Ibnu Rusyd menggunakan argumen teologis yang biasa dipakai oleh kaum teolog, yaitu Surat al-Anbiya’ ayat 22. Ù„َÙˆْ Ùƒَانَ ÙِيهِÙ…َا آلِÙ‡َØ©ٌ Ø¥ِÙ„َّا اللَّÙ‡ُ Ù„َÙَسَدَتَا ۚÙَسُبْØَانَ اللَّÙ‡ِ رَبِّ الْعَرْØ´ِ عَÙ…َّا ÙŠَصِÙُونَ Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai `Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. 21 22. Sebagaimana halnya para teolog di sini ibn Rusyd menjelaskan ayat tersebut dengan al-Qiyas ala al-gho’ib bi asy-Syahid yaitu menganalogikan yang gaib dengan yang nyata. Kata Ibnu Rusyd ”Sudah menjadi hal yang maklum bahwa berkumpulnya dua penguasa di satu negeri menyebabkan rusaknya negeri tersebut”. Demikian pula jika di alam ini ada-dua tuhan bahkan lebih niscaya akan alam ini akan rusak, namun kenyataan membuktikan bahwa alam ini tetapberjalan baik dan teratur, berartl Allah itu esa. Ibnu Rusyd kemudian memperkuat logika tersebut dengan ayat lain yaitu Ù…َا اتَّØَذَ اللَّÙ‡ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَÙ„َدٍ ÙˆَÙ…َا Ùƒَانَ Ù…َعَÙ‡ُ Ù…ِÙ†ْ Ø¥ِÙ„َٰÙ‡ٍ ۚØ¥ِذًا Ù„َذَÙ‡َبَ ÙƒُÙ„ُّ Ø¥ِÙ„َٰÙ‡ٍ بِÙ…َا ØَÙ„َÙ‚َ ÙˆَÙ„َعَÙ„َا بَعْضُÙ‡ُÙ…ْ عَÙ„َÙ‰ٰ بَعْضٍ ۚسُبْØَانَ اللَّÙ‡ِ عَÙ…َّا ÙŠَصِÙُونَ Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain besertanya, kalau ada Tuhan besertanya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhantuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. al-Mukminun 23 91[25] 6. Contoh Metode Tafsir al-Ilmi Contoh-contoh penafsiran dengan tafsir ilmi dapat diambil dari al-Baqarah 61 yang bercerita tentang kaum Nabi Musa yang tidak puas dengan makan satu jenis makanan di pegunungan. ÙˆَØ¥ِذْ Ù‚ُÙ„ْتُÙ…ْ ÙŠَا Ù…ُوسَÙ‰ Ù„َÙ†ْ Ù†َصْبِرَ عَÙ„َÙ‰ Øَعَامٍ ÙˆَاØِدٍ Ùَادْعُ Ù„َÙ†َا رَبَّÙƒَ ÙŠُØْرِجْ Ù„َÙ†َا Ù…ِÙ…َّا تُÙ†ْبِتُ الأرْضُ Ù…ِÙ†ْ بَÙ‚ْÙ„ِÙ‡َا ÙˆَÙ‚ِØَّائِÙ‡َا ÙˆَÙُومِÙ‡َا ÙˆَعَدَسِÙ‡َا ÙˆَبَصَÙ„ِÙ‡َا Ù‚َالَ Ø£َتَسْتَبْدِÙ„ُونَ الَّذِÙŠ Ù‡ُÙˆَ Ø£َدْÙ†َÙ‰ بِالَّذِÙŠ Ù‡ُÙˆَ ØَÙŠْرٌ اهْبِØُوا Ù…ِصْرًا ÙَØ¥ِÙ†َّ Ù„َÙƒُÙ…ْ Ù…َا سَØ£َÙ„ْتُÙ…ْ Ùˆَضُرِبَتْ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ…ُ الذِّÙ„َّØ©ُ ÙˆَالْÙ…َسْÙƒَÙ†َØ©ُ Ùˆَبَاءُوا بِغَضَبٍ Ù…ِÙ†َ اللَّÙ‡ِ ذَÙ„ِÙƒَ بِØ£َÙ†َّÙ‡ُÙ…ْ Ùƒَانُوا ÙŠَÙƒْÙُرُونَ بِآيَاتِ اللَّÙ‡ِ ÙˆَÙŠَÙ‚ْتُÙ„ُونَ النَّبِÙŠِّينَ بِغَÙŠْرِ الْØَÙ‚ِّ ذَÙ„ِÙƒَ بِÙ…َا عَصَÙˆْا ÙˆَÙƒَانُوا ÙŠَعْتَدُونَ Dan ingatlah, ketika kamu berkata “Hai Musa, kami tidak bisa sabar tahan dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? 2. 61 Thantowi Jauhari w. 1940 M mengomentari ayat ini dengan mengambil teori ilmiah Eropa, yakni bahwa model kehidupan Baduwi di pedesaan atau pegunungan, yang biasanya orang mengkonsumsi makanan manna wa salwa jenis makanan yang tanpa efek samping dengan kondisi udara yang bersih, jauh lebih baik daripada model kehidupan di perkotaan yang biasanya orang suka mengkonsumsi makanan siap saji, daging-daging, dan berbagai ragam makanan lainnya, ditambah lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan.[26] Contoh lain dapat ditemukan dalam penafsiran M. Abduh terhadap surat al-Fil 3 - 4 yang menafsirkan kata thayran ababil burung Ababil dengan mikroba dan kata al-hijarah batu dengan kuman penyakit. Atau, penafsiran Abdul al-Razq Nawfal pada al-A’raf 189. Ù‡ُÙˆَ الَّذِÙŠ ØَÙ„َÙ‚َÙƒُÙ…ْ Ù…ِÙ†ْ Ù†َÙْسٍ ÙˆَاØِدَØ©ٍ ÙˆَجَعَÙ„َ Ù…ِÙ†ْÙ‡َا زَÙˆْجَÙ‡َا Ù„ِÙŠَسْÙƒُÙ†َ Ø¥ِÙ„َÙŠْÙ‡َا ÙَÙ„َÙ…َّا تَغَØ´َّاهَا ØَÙ…َÙ„َتْ ØَÙ…ْلا ØَÙِÙŠÙًا ÙَÙ…َرَّتْ بِÙ‡ِ ÙَÙ„َÙ…َّا Ø£َØْÙ‚َÙ„َتْ دَعَÙˆَا اللَّÙ‡َ رَبَّÙ‡ُÙ…َا Ù„َئِÙ†ْ آتَÙŠْتَÙ†َا صَالِØًا Ù„َÙ†َÙƒُونَÙ†َّ Ù…ِÙ†َ الشَّاكِرِينَ Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan beberapa waktu. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya suami istri bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". & 189 Al-Razq menafsirkan kata nafsu al-wahidah diri yang satu dengan proton dan zawjaha dengan pasangannya elektron, dan masing-masing keduanya membentuk unsur atom. Contoh lain, ada penafsiran ayat dalam surah Yasiin ayat 38 ÙˆَالشَّÙ…ْسُ تَجْرِÙŠ Ù„ِÙ…ُسْتَÙ‚َرٍّ Ù„َّÙ‡َا ۚ ذَٰÙ„ِÙƒَ تَÙ‚ْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَÙ„ِيمِ Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. QS. Yaasin 38 Pada masa-masa sebelumnya, para mufassir menafsirkan ayat ini dengan gerakan lahiriah matahari yang berjalan sehari-hari atau per musim. Akan tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah dan sains baru, para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan gerakan matahari menuju suatu titik tertentu yang di situ terdapat planet Vega. Semua penafsiran itu masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat moderatif. Akan tetapi, di beberapa kalangan mufassirin kita melihat keteledoran dan keberlebihan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan rangka mendukung metode penafsiran ilmiah. 7. Contoh Metode Tafsir Adab al-Ijtima'i Corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya memfokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat umat Islam, yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya. Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran Juz Amma oleh Muhammad Abduh dalam QS. al-Fiil 3-4. ÙˆَØ£َرْسَÙ„َ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ…ْ ØَÙŠْرًا Ø£َبَابِيل تَرْÙ…ِيهِÙ… بِØِجَارَØ©ٍ Ù…ِّÙ† سِجِّيلٍ Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu berasal dari tanah yang terbakar. 3-4 Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. sedangkan yang dimaksud dengan ØÙŠØ±Ø§ ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak, ”yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيل berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.[27] Abduh menjelaskan bahwa lafaz ØÙŠØ±Ø§ tersebut merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan lafaz Ø¨ØØ¬Ø§Ø±Ø© itu berasal dari tanah kering yang bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.[28] Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat soaial masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Berbeda hal nyadengan corak penafsiran lain yang dilakukan oleh beberapa ulama era klasik ataupun pertengahan. Sebut saja misalnya penafsiran dalam Tafsir al-Qurthubi dengan corak fiqhinya, yang hanya menafsirinya dengan memaknai ayat secara linguistik saja. Yakni hanya membahas mengenai segi kebalaghannnya saja dengan mengkaitkannya pada riwayat-riwayat dari beberapa sahabat. Tanpa memaknainya dengan mengkaitkan kehidupan sosial atau pengetahuan yang ada ketika itu dalam masyarakat. Beliau lebih mencantumkan mengenai perbedaan dari beberapa sahabat dengan pengertian bahwa lafaz ØÙŠØ±Ø§ berarti burung yang lebih mirip dengan kelelawar yang bewarna merah dan hitam, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah. Disebutkan juga bahwa lafaz tersebut bermakna burung khudlur riwayat Said bin Jubair, dan sebagainya. Sedangkan mengenai lafaz Ø¨ØØ¬Ø§Ø±Ø© dalam tafsir tersebut ditafsiri dengan batu yang terbuat dari tanah liat, yang dibakar di atas api neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang berhak atasnya.[29] Maka dapat disimpulkan dari contoh tersebut bahwa dalam corak Adabi Ijtimai mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri dalam penafsirannya. Yakni bahwa corak tafsir tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial dan perkembangan pengetahuan yang berkembang pada masa modern. Kelebihan dan Kelemahan Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia dengan segenap kemampuannya selalu memiliki kelemahan dan keistimewaan. Pun begitu Metode Tafsir Tahlili. Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud bukanlah suatu hal yang negatif karena kegiatan ini usaha untuk menggali kandungan al-Quran, yang tentunya mufassir selalu berhati-hati dan berkerendahan hati. Tafsir Tahlili ditemukan beberapa keistimewaan diantaranya Pertama, tafsir ini biasanya selalu memaparkan beberapa hadist ataupun perkataan sahabat dan para tabiin yang berkenaan dengan pokok pembahasan pada ayat. Juga didalamnya terdapat beberapa analisa mufassir mengenai hal-hal umum yang terjadi sesuai dengan ayat. Dengan demikian, informasi wawasan yang diberikan dalam tafsir ini sangat banyak dan dalam. Kedua, keistimewaan lainnya adalah adanya potensi besar untuk memperkaya arti kata-kata dengan usaha penafsiran terhadap kosa-kata ayat. Potensi ini muncul dari luasnya sumber tafsir metode tahlili tersebut. Penafsiran kata dengan Metode Tahlili akan erat kaitannya dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak tertutup kemungkinan, kosa-kata ayat tersebut sedikit banyaknya bisa dijelaskan dengan kembali kepada arti kata tersebut seperti pemakaian aslinya. Pembuktian seperti ini akan banyak berkaitan dengan syair-syair kuno. Ketiga, keistimewaan lainnya adalah luasnya bahasan penafsiran. Pada dasarnya, selain detail, keluasan bahasan juga menjadi salah satu ciri khusus yang membedakan tafsir tahlili dengan tafsir ijmali. Sebuah ayat yang tidak ditafsirkan oleh metode ijmali kadang kala membutuhkan ruang yang banyak bila ditafsirkan dengan metode tahlili. Disamping keistimewaan, juga ada kelemahan. Namun sekali lagi kelemahan disini bukanlah merupakan kelemahan yang mengharuskan kita tidak menggunakan atau mengabaikan tafsir ini. Akan tetapi hendaknya dalam menyikapi kelemahan ini, kita harus dapat memilah milih beberapa informasi dan wawasan yang dipaparkan dalam metode penafsiran ini. Lebih dari itu, ketika zaman berganti, kekuatan penalaran berkembang, hasil usaha tafsir tahlili tentu saja beberapa penjelasan tidak lagi bisa diadopsi zaman. Kelemahan-kelemahan itu di antaranya adalah; pertama, yang sering disebutkan adalah berkenaan dengan israiliyat yang mungkin terkadang masuk dalam informasi yang diberikan mufassir. Juga sama halnya dengan berbagai hadist lemah yang tidak selayaknya digunakan pada tempat dan kondisi sesuai. Jadi analisa kritis yang mendalam, kelemahan-kelemahan ini sangat mungkin untuk dihindarkan. Selayaknyalah memang seorang mufassir yang berkompeten untuk memberikan perhatian serius terhadap sumber informasi yang ia gunakan dalam menafsirkan sebuah ayat. Israiliyyat tidaklah begitu sulit untuk dikenali, konsepnya hanyalah apakah informasi tersebut mempunyai sumber yang jelas atau tidak, bila sumbernya jelas dan kuat maka informasi tersebut bisa dipakai dan sebaliknya. Demikian pula dengan hadist-hadist dha’if ataupun pendapat-pedapat para sahabat maupun tabi’i. Hukum dasar hadist da’if adalah tidak boleh diamalkan, hal ini tentu saja berlaku dalam pemakaian sebagai sumber tafsir. Hadist dha’if tersebut hanya bisa dipakai sebagai penguat apabila ada hadist yang lebih kuat menjelaskan senada dengan hadist da’if tersebut. Kedua, tafsir tahlili adalah kesan pemaparan yang bertele-tele dan tidak sistematis. Tentu saja ini terjadi mengingat metode ini mengikuti susunan surat dan ayat dalam mushaf usmani. Sehingga tidak bisa disebut sistematis menurut alur pikir manusia hari ini. Keluasan masalah yang akan dipaparkan tentunya membuat panjang lebar dan berbeda dengan model pemaparan tafsir ijmali. Keluasan bahasan Tafsir Tahlili dalam menguraikan sebuah ayat tentu saja membutuhkan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih lama bagi seorang mufassir. Bagi beberapa golongan hal ini juga dianggap sebagai kelemahan dibandingkan dengan Tafsir Ijmali yang praktis dan sederhana. Sebagai catatan penutup, Metode Tafsir Tahlili merupakan tafsir al-Quran yang memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun kitab-kitab tafsir yang dilahirkan dari metode inilah yang paling tepat untuk dibaca dan memahami al-Quran, setelah itu dilanjutkan dengan memelajari metode tafsir ijmali dan maudhui sebagai zoom out dan zoom in agar mendapat kandungan al-Quran. Begitu pula ketika akan menulis tafsir al-Quran, kita tidak bisa lepas dengan karya para ulama yang telah menulis tafsir dengan menggunakan metode ini. Setelah mengupas makalah ini, penulis dapat menyimpulkan, kerja tafsir bukan pekerjaan interpretasi biasa. Tetapi usaha sungguh-sungguh dan mendalam agar memahami ayat-ayat al-Quran secara komprehensif, tidak hanya satu dua ayat yang bisa berbahaya dari tujuan utama al-Quran diturunkan.[] DAFTAR PUSTAKA Abduh, Muhammad, Tafsir Juz Amma, tej. Muhammad Bagir, Bandung Mizan, 1999 Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej. Dudi Rosyadi dan Faturrahman, Jakarta PustakaAzzam, 2009 Abu al Fadl Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’am fi Tafsir al-Qur’an Azim wa Sab’i al-Matsani, Beirut, Dar Ihya al-Turats al’arabi, Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, Bandung Pustaka Setia, 2008 Aqil, Said Husin al-Munawwar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta Ciputat Pers, 2002 Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Yogyakarya Pustaka Pelajar, 1998 Hasan, Ali Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1994 Hayy Al-Farmawi, Abdul, Tafsir Maudhu‟i Suatu Pengantar, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996 Husaini, Sayid Musa, Metode Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir Modern, diakses Jumat 28/10, WIB. Kholis, Nur, Pengantar Al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta Sukses Offset, 2008 Mustaqim, Abdul, Aliran-Aliran Tafsir, dari perode klasik hingga kontemporer, Yogyakarta; Kreasi Warna, 2005 Majid, Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Mohammad Maghfur Wachid. Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin, Bangil Al-Izzah, 1997 Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung Tafakur, 2011, cet. III Syarif, Para Filosof Muslim, cet I, Bandung Mizan, 1985 Suryadilaga, M. Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta Teras. 2005 Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2001 Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, I, II Jakarta UI-Press, 1979 _______________,Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. III, Jakarta Bulan Bintang, 1983 Solihin, M, Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2003 Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung Pustaka Islamika, 2002 Tantawi Jauwhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Mushtamil ala Ajaib Badai’ al-Mukawwanat wa Gharib al-Ayat al-Bahirat al-Musama, Juz 1, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004 Quraish, M. Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Bandung Mizan, 1998 ________________, Membumikan Al-Qur’an, Bandung Mizan, 1996 __________________, Sejarah & al-Ulum al-Qur’an, Jakarta Pustaka Firdaus, 2001 Yuminah, Corak Penafsiran, dipresentasekan dalam kuliah, Senin 3/10 [1]Basuki Tjahya Purnama alias Ahok dalam suatu kesempatan di Kepulauan Seribu melontarkan pernyataan tentang pihak lawan politiknya memakai propaganda deengan landasan ayat al-Maidah 51, agar warga Jakarta tak memilih dirinya dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017-2002. Pernyataan Ahok itu diunggah tidak lengkap, setelah mengalami pemenggalan dan editing, lalu diunggah ke situs video online, [2]Ketika Megawati Soekarno Putri menjadi calon presiden dalam Pemilu 2004 dan 2009, wacana tentang pemimpin perempuan dalam Islam juga mengemuka. Tafsir ayat al-Quran tentang kepemimpinan yang mengemuka adalah QS. An Nisaa 34. Setelah panggung pesta demokrasi itu terlewati, publik dan media massa sudah tak lagi intens membicarakan soal kepemimpinan seorang perempuan. [3]QS. Al-Anbiya’ 107, lihat Kitab Tafsir Ibnu Katsir Juz 5, hal. 385 [4] 2213, 179, 241, 5725 [5]Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu Pengantar, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996 [6]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Yogyakarya Pustaka Pelajar, 1998 [7]M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Bandung Mizan, 1998, lihat juga, Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung Mizan, 1996. [8]Abdul Hayy Al-Farmawi, [9] M. Alfatih Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta Teras. 2005. hal. 70 [10]Nur Kholis, Pengantar Al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta Sukses Offset, 2008 [11]Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1994 [12]Lebih lengkap dalam makalah Yuminah, Corak Penafsiran, dipresentasekan dalam kuliah, Senin 3/10. [13]Said Aqil Husin al-Munawwar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta Ciputat Pers, 2002 [14]Said Aqil Husin al-Munawwar, hal. 74-80 [15]M. Quraish Shihab, Sejarah & Ulum al Qur’an, Jakarta Pustaka Firdaus, 2001 [16]Said Aqil Husein al Munawwar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehn Hakiki, Jakarta Ciputat Pers, 2002, hal. 70-71 [17]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, dari perode klasik hingga kontemporer, Yogyakarta; Kreasi Warna, 2005. [18]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung Tafakur, 2011, cet. III, hal. 20 [19]Imam Al-Ghazali menulis buku Tahafut al Falasifah, sebagai kritik tajamnya terhadap metode berpikir filsafat. Kritik ini juga dibalas Ibn Rusyd dengan buku Tahafut al Tahafut. Polemik dua tokoh Islam ini dapat ditemukan dalam Syarif, Para Filosof Muslim, cet I, Bandung Mizan, 1985. Lihat, Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, cet. v Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2001, serta Harun Nasution, Jilid II, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta UI-Press, 1979, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. III, Jakarta Bulan Bintang, 1983. [20]Imam Al-Ghazali menulis buku Tahafut al Falasifah, sebagai kritik tajamnya terhadap metode berpikir filsafat. Kritik ini juga dibalas Ibn Rusyd dengan buku Tahafut al Tahafut. Polemik dua tokoh Islam ini dapat ditemukan dalam Syarif, Para Filosof Muslim, cet I, Bandung Mizan, 1985. Lihat, Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, cet. v Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2001, serta Harun Nasution, Jilid II, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta UI-Press, 1979, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. III, Jakarta Bulan Bintang, 1983. [21]Lihat Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung Pustaka Setia, 2008, lihat juga dalam Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, dari perode klasik hingga kontemporer, Yogyakarta; Kreasi Warna, 2005. [22]M. Alfatih Suryadilaga, hal. 55. [23]Abu al Fadl Mahmud al-alusi, Ruh al-Ma’am fi Tafsir al-Qur’an Azim wa Sab’i al-Matsani, Beirut, Dar Ihya al-Turats al’arabi, Juga dalam M. Solihin, Tasawuf Tematik Membedalh Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2003 [25]Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Mohammad Maghfur Wachid. Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin, Bangil Al-Izzah, 1997 hlm. 279. [26]Tantawi Jauwhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Mushtamil ala Ajaib Badai’ al-Mukawwanat wa Gharib al-Ayat al-Bahirat al-Musama Tafsir Tantawi Jawhari, Juz 1 Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004, hlm. 66-67 sebagaimana dikutub dalam Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an. Bandung Pustaka Islamika, 2002 hlm 316 [27]Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej. Muhammad Bagir Bandung Mizan, 1999, hlm. 320 [28]Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej. Muhammad Bagir, Bandung Mizan, 1999, hlm. 322 [29]Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej. Dudi Rosyadi dan Faturrahman Jakarta PustakaAzzam, 2009, hlm. 755-760TafsirTahlili merupakan metode tafsir ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[1] Selain itu, ada juga yang menyebutkan tafsir tahlili loading...Tuan Guru Miftah el-Banjary, pakar ilmu linguistik Arab asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist Tuan Guru Miftah el-BanjaryPakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,Pensyarah Kitab Dalail KhairatMetodologi Tafsir Al-Qur'an dibagi menjadi empat macam, yaitu metode Tahlili, metode Ijmali, metode Muqarin, dan metode Maudhu'i. Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan arti tafsir Al-Qur'an bahasa Arab القرآن تفسير yaitu ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin pemberi penjelasan. Kemudian menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami dan samar artinya. Baca Juga Berikut penjelasan empat metodologi Tafsir Al-Qur'an1. Metode Tahlili AnalitikMetode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini dsebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Al-Qur'an sebagaimana tercantum dalam Al-Qur' ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosakata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkangagasan yang beraneka ragam dan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu "mengikat" generasi Metode Ijmali GlobalMetode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara Metode MuqarinTafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari objek yang diperbandingkan Metode Maudhu'i TematikTafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebabsebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubunganhubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum Tafsir Al-Qur'anSetiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari ahli tafsir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut"Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat."Di antara berbagai corak itu antara lain adalahCorak Sastra Bahasa Munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang Filsafat dan Teologi Corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir Penafsiran Ilmiah Akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang Fikih Akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhabmahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Tasawuf Akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak Sastra Budaya Kemasyarakatan Corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usahausaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar. Baca Juga rhs